Rumah, bagi sebagian orang merupakan kata yang biasa-biasa saja. Tetapi bagi banyak orang lagi, ‘rumah’ menjadi kata yang teramat mahal. Bahkan bagi buruh yang diupah murah, membeli rumah hanyalah mimpi belaka. Padahal, rumah hal yang sangat fundamental dan menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan hidup dan menikmati kehidupan yang bermartabat, damai, aman dan nyaman.
Pada rumah juga melekat dimensi budaya dan sosial sehingga makna rumah tidak bisa diartikan secara sempit sebagai tempat berlindung bagi manusia. Sebagian masyarakat di Indonesia menganggap rumah seperti manusia yang juga harus dihargai dan dihormati. Hal tersebut terlihat dengan adanya upacara adat saat pembuatan rumah di banyak daerah di Jawa dan Sumatera.
Dalam bahasa yang lain, warga negara yang tidak memiliki rumah rentan terhadap bahaya yang mengancam fisik maupun mental. Dengan demikian, hak atas perumahan menjadi variabel penting dan menjadi sebuah hak independen atau hak yang berdiri sendiri (independent or free-standing right) dalam mengukur apakah seseorang menikmati hak atas standar hidup yang layak (the right to adequate standard of living)
Hak atas perumahan yang layak dijamin dalam instrumen HAM Internasional, yang telah menjadi hukum nasional karena Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi. Dengan demikian hak atas perumahan yang layak telah menjadi hak konstitusi (constitutional right) maupun hak hukum (legal right). Instrumen hukum yang menjamin Hak atas perumahan diantarannya adalah :
Upah Murah
Masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk kaum buruh di DIY, terancam tidak dapat membeli rumah. Hal ini disebabkan harga tanah dan rumah yang terus melambung tinggi setiap tahunnya, sementara penghasilan buruh tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Sebagian besar anggota Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) tidak punya hak milik atas rumah sendiri, dalam arti masih hidup bersama orang tua maupun menyewa rumah kepada orang lain. DPC KSPSI Sleman memiliki anggota sekitar 8 ribu hingga 9 ribu, dan sekitar 70-80 persen masih ikut orang tua. Sekitar 10 persen mengontrak, itu pun berpindah-pindah. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap hak atas perumahan sudah terjadi bukan lagi sekadar ancaman, apalagi isapan jempol belaka.
Prinsip-prinsip dasar yang dimuat dalam General Comment No. 4 United Nations (UN) Committee on Economic, Social and Cultural Rights dapat menjadi alat ukur (parameter) bagi perlindungan dan pemenuhan hak rakyat atas perumahan. Salah satu prinsip utama dalam pemenuhan hak rakyat atas perumahan: Pertama, prinsip aksesibilitas (accessibility), prinsip ini bermakna bahwa perumahan mesti dapat dimiliki setiap orang. Kedua, Prinsip keterjangkauan/afordabilitas, prinsip ini secara singkat bermakna bahwa setiap orang dalam praktik dapat memiliki rumah. Harga rumah harus dapat terjangkau bagi setiap orang.
Upah murah yang menjadi pilihan Pemda DIY secara tidak langsung melanggar kedua prinsip di atas. Hampir tidak mungkin dengan upah yang rendah, buruh di Yogyakarta dapat memiliki hak milik atas sebidang tanah yang berdiri bangunan rumah di atasnya. Gubernur DIY menetapkan UMK 2017 sebesar Rp 1.572.200 untuk Kota Yogyakarta. Sementara untuk Sleman, naik menjadi Rp 1.448.385, Bantul Rp 1.404.760, Kulonprogo Rp 1.373.600, dan Gunungkidul Rp 1.337.650. Dengan upah yang semurah itu, memiliki rumah ibarat mimpi di siang bolong bagi kaum buruh di DIY.
Sementara itu, harga tanah dan rumah terus meroket di DIY. Di wilayah Giwangan, Kota Yogya, harga rumah dengan luas bangunan (LB) 62 dan luas tanah 60 meter persegi mencapai Rp916 juta. Sedangkan untuk tipe lebih besar 75/76 menembus Rp1,1 miliar. Di kawasan Wirobrajan rumah tipe 77/82 meter persegiharganya mencapai Rp 1,2 miliar, di daerah Sorogenen untuk tipe rumah 86/126 harganya sampai Rp1,3 miliar. Di daerah Sleman, tepatnya jalan Magelang KM 14, rumah tipe 65/140 dijual dengan harga Rp385 juta. Di Prambanan, rumah dengan tipe 45/100 meter persegi dijual dengan harga Rp220 juta. Sementara itu, kawasan Bantul, harganya relatif jauh lebih murah dibanding dengan di Sleman atau Kota Yogyakarta. Misalnya, perumahan di kawasan Kasongan, dengan tipe rumah lantai satu tipe 54/122 dijual dengan harga Rp464 juta, tipe 45/117 dijual dengan harga Rp408 juta dan tipe lebih besar lagi 45/211 dijual dengan harga Rp591 juta.
Dengan demikian, dengan upah murah yang diterimannya, buruh di DIY sudah dihadapkan pada kondisi nyata yaitu ketidakmampuan untuk mempunyai rumah sendiri atau tunawisma. Hal ini juga berarti Pemda DIY melakukan pelanggaran terhadap hak atas perumahan karena menerapkan kebijakan upah murah dan ketidakmampuan Pemda DIY menerapkan prinsip afforability atau keterjangkauan untuk rumah, terutama untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk kaum buruh.
Solusi Alternatif
Tujuan Keistimewaan DIY sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 5 UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY adalah untuk mensejahterakan dan ketentraman masyarakat. Artinya kesejahteraan dan ketentraman merupakan hak masyarakat Yogyakarta berdasarkan Keistimewaann DIY. Oleh karena itu, Keistimewaan DIY juga harus bisa memberikan solusi alternatif terhadap Hak atas Perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk kaum buruh.
Berdasarkan Pasal 32 ayat (5) UUK DIY pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat, sehingga sangat mungkin bagi Pemda DIY untuk berkerjasama dengan Kasultanan dan Kadipaten dapat menggunakan tanah-tanah Kasultanan dan Kadipaten untuk dijadikan kawasan perumahan atau rumah susun kemudian didistribusikan kepada buruh dan keluarganya yang belum mempunyai rumah.
Hal tersebut semakin diperkuat pasca disahkannya Perdais tentang Pengelolaan dan Pemanfaatann Tanah Kasultanan dan Kadipaten, maka Pemda DIY memiliki instrumen hukum untuk menjadikan sebagian tanah SG dan PAG dijadikan kawasan perumahan atau rumah susun bagi buruh. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf o tersebut, di mana tanah SG dan PAG dapat dilepaskan untuk kepentinggan umum, dan pengadaan tanah untuk perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah termasuk dalam kepentingan umum.
Jika hal tersebut dilakukan, berarti tanah-tanah yang dimiliki Kasultanan dan Kadipaten dimanfaatkann untuk mewujudkan Yogya yang Istimewa dimana Pemda DIY dapat melindungi dan menjamin Hak atas Perumahan bagi masyarakat Yogyakarta. Pengelolaan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten serta tata ruangnya harus memiliki tolak ukur untuk sebesar-besar pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga tujuan Keistimewaan Yogyakarta, yaitu melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa dan penyelenggaraan kewenangan dalam urusan keistimewaan didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan kesejahteraan rakyat, benar-benar terwujud.
Oleh: Irsad Ade Irawan
Wakil Sekjend Aliansi Buruh Yogyakarta dan Peneliti pada LBH Studi Kebijakan Publik (LBH SIKAP)