Reza sedang gundah. Salah satu mahasiswa di kampus kami ini belum juga memperoleh teman kerja. Tawarannya belum bersambut. Belum ada yang sanggup menyediakan waktu untuk pekerjaan baru yang ia rancang.
Bisnisnya sederhana: ojek sekolah. Jasa ojek sudah biasa. Antar-jemput anak sekolah juga sudah lazim.
Khusus ojek sudah naik kelas. Tak lagi sekadar mangkal di perempatan, dengan jaket lusuh dan helm kumal, ojek sudah beranjak menjadi taksi motor. Sudah ada perusahaan berizin yang merintis bisnis ini. Penampilannya beda, rapi. Tarifnya juga standar. Sudah pakai argometer. Helm-nya juga kinclong. Istimewanya, ada pengemudi perempuan khusus untuk melayani penumpang perempuan.
Sedangkan jasa antar-jemput sudah kadung di kelas atas. Setidaknya, ukurannya adalah kendaraan yang digunakan berupa mobil. Tarifnya terjangkau untuk kalangan masyarakat berada. Pun biasanya sekolah-sekolah bonafid menyediakan jasa antar-jemput siswanya.
Reza sedang mau menurunkan kelas jasa antar-jemput ke moda motor. Sedangkan motor sendiri sebagai moda ojek sudah mulai naik kelas menuju taksi. Menurunkan, sebab dengan motor ia bisa mengantar dan menjemput anak sekolah secara personal. Anak tidak perlu menunggu teman lain untuk berangkat sekolah. Saat pulang pun bisa langsung sampai di rumah tanpa mengantarkan yang lain.
Menaikkan, sebab jasa yang ia tawarkan tak sekadar antar-jemput menggunakan motor, melainkan jasa kepercayaan dan pelayanan yang lebih eksklusif. Ia sedang menghadirkan cara lain dalam melayani pelanggan, sekaligus menaikkan kualitas pelayanan yang selama ini sudah dihadirkan secara perorangan oleh ojek dan tukang becak.
Di luar itu, kegelisahan Reza adalah minimnya minat teman-teman mahasiswa untuk menjadi tenaga pengojek. Padahal, Reza memang sengaja merekrut mahasiswa yang punya kendaraan untuk mengoptimalkan kendaraan yang mereka punya, memanfaatkan waktu luang, dan menambah pengalaman melayani pelanggan. Minim peminat, banyak yang menertawakan. Begitulah, ide bisnis baru acap diabaikan. Dan Reza jalan terus.
Saya jadi teringat buku David Armstrong Once Told, They,re Gold. Ia bilang, kreativitas tidaklah selalu tentang menciptakan sesuatu yang baru, melainkan memikirkan ulang sesuatu yang lama. “Jika seseorang tidak tidak menertawakan ide anda maka anda tidak cukup kreatif.” Orang-orang sedang menertawakan ide daur ulang Reza tentang ojek anak sekolah, tentang sesuatu yang lama yang sedang dihadirkan ulang secara baru.
Cerita ini untuk anda yang sedang merenungkan bagaimana memperbarui bisnis lama yang perlu dikemas ulang. Saat orang sedang menertawakan renungan anda, bisa jadi kreativitas anda sedang menuntun ke arah penemuan ide bisnis yang menjanjikan.
AA KUNTO
Dosen @STIEBBANK