Gebrakan pemerintah yang melarang PNS menggelar acara kantor di hotel disikapi secara berbeda. Ada yang senang, ada yang berang. Yang senang tentu saja mengapresiasi kebijakan ini sebagai bentuk penghematan biaya yang besar. Ditengarai, penghematan mencapai 50% sendiri. Angka yang fantastis untuk sebuah bentuk efisiensi.
Sedangkan yang berang mencibir kebijakan ini sebagai penyumbatan rejeki. Kalangan perhotelan berdiri di garda depan pasukan yang berang ini. Mereka merasa sebagai pihak yang paling sial akibat pengetatan anggaran pemerintah ini. Kata mereka, kegiatan pemerintahan seperti rapat dan pelatihan menduduki daftar teratas penyumbang penghasilan. 50% penghematan yang dicapai pemerintah sama saja 50% kebangkrutan mereka.
Saya berpendapat, kebijakan penghematan ini patut didukung. Bagaimana pun pemerintahan yang efisien jauh lebih bisa diandalkan daripada pemerintahan yang boros. Dan kita sudah merasakan bagaimana perjalanan bangsa ini ketika dikelola oleh pemerintahan yang boros. Belanja pegawai, contohnya, bisa memakan lebih dari separo alokasi anggaran.
Seiring dengan itu, saya mendukung pula kalangan pebisnis, terutama yang kena dampak langsung penghematan ini, untuk bersiasat. Dalam jangka pendek memang mereka kehilangan sumber pendapatan dari ditiadakannya acara pemerintah di hotel. Namun, dalam jangka panjang, saya yakin pengelola hotel bakal menemukan solusi untuk mendapatkan sumber pendapatan baru.
Berbekal konsep MICE (meeting, intensive, conference, dan expo), hilangnya pasar pemerintah bisa lekas digantikan dengan pasar publik. Banyak pihak bisa dirangkul untuk menyemarakkan kembali MICE. Pihak swasta terbuka sekali.
Kami di STIEBBANK, contohnya, memiliki dua UKM (unit kegiatan mahasiswa) yang siap dilibatkan dalam penggerakan MICE ini. Kedua UKM tersebut adalah Event Organizer dan Training Provider. Kedua UKM ini fokus pada penyelenggaraan pelatihan dan pameran berskala besar. Mereka sudah kerap menggelar seminar, pelatihan bisnis, dan pameran komputer. Sama sekali tidak menggarap program pemerintah.
Berdasarkan pengalaman mereka, kebutuhan akan terselenggaranya MICE begitu tinggi. Di Yogyakarta saja berhimpun ribuan pakar, pembicara publik, dan trainer yang butuh panggung untuk berbicara. Ratusan ribu mahasiswa butuh ilmu tambahan lewat seminar. Masyarakat kota ini haus pengetahuan. Sementara ruang kuliah terbatas, ruang-ruang belajar di hotel layak menyambut pasar ini. Jika kebutuhan ini diakomodasi, cibiran publik Yogyakarta bahwa hotel-hotel baru yang bertumbuh merugikan masyarakat karena merusak lingkungan bisa dihalau. Penyelenggaraan kegiatan publik yang melibatkan masyarakat luas bisa mengangkat citra perhotelan sebagai pendukung citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan, termasuk pendidikan calon pebisnis.
AA Kunto A
CoachWriter, Pengajar di STIEBBANK