Tiga sopir itu bernama Adi, Dika, dan Jody. Muda, ramah, dan cekatan. Satu bujang, dua sudah berpasangan. Satu warga lokal, dua imigran dari pulau sebelah.
Secara bergantian, selama seminggu, mereka mengantar saya menyusuri kampung-kampung di Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pekan lalu. Oleh CD Bethesda, saya diminta riset tentang program sanitasi yang mereka kerjakan bersama Kementerian Kesehatan. Hasil riset sedang saya susun sebagai buku.
Sebagai penulis yang sekarang sedang berkecimpung di kampus bisnis STIEBBANK, saya memetik banyak pelajaran dari perjalanan riset kualitatif ini. Sederhana, namun sangat syarat pesan: pengetahuan produk (product knowledge), pemasaran, proses produksi, dan pengelolaan SDM (sumber daya manusia).
Ketiga sopir dari persewaan mobil lokal itu sangat menguasai seluk-beluk Sumba. Bukan hanya lika-liku jalan, baik yang sudah beraspal maupun yang masih bebatuan, baik yang datar maupun yang menanjak, melainkan juga mengenali desa-desa yang kami kunjungi berikut tokoh-tokohnya. Mereka tahu nama tokoh di desa-desa yang saya kunjungi. Pun mereka mampu menjadi penghubung komunikasi dengan tokoh-tokoh itu sehingga mempermudah interaksi kami. Waktu menjadi sedemikian efektif berkat kecekatan mereka membantu menyusun urutan perjalanan.
Ketiga sopir itu mengantarkan saya memasuki kampung-kampung yang sedang membangun sanitasi. Secara khusus, kampung-kampung itu sedang berbenah membiasakan diri BAB (buang air besar) di jamban. Sebelum ini mereka BAB sembarangan di kebun dan di ladang. Saat saya ke sana, saya masih menjumpai banyak warga yang BAB seperti kucing, menggali lobang lalu menimbun kotorannya. Saat saya tanya mengapa mereka masih melakukan itu, mereka diam. Rupanya mereka tidak paham dengan pertanyaan saya. Mereka tidak bisa berbahasa Indonesia.
Menariknya, saat mewawancarai pejabat kabupaten, kecamatan, dan desa, mereka tidak menutupi potret ini. Walau malu, namun mereka membuka diri akan fakta masyarakatnya. Justru potret buram ini mereka tunjukkan bahwa mereka berupaya untuk berubah. Lewat program non subsidi, mereka menemukan jalan bahwa ternyata rakyat miskin pun mampu mengubah diri tanpa kucuran dana dari pemerintah. Mereka mau membangun WC dan sarana kebersihan dari kantong sendiri.
Kesadaran itu muncul setelah melalui proses edukasi panjang mereka menyadari bahwa untuk kebutuhan dasar mestinya mereka bisa memenuhi secara mandiri. Walau rerata hanya lulus kelas 5 SD, namun berkat pendekatan intensif yang berfokus pada aspek kemanusiaan, rupanya mereka tergugah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri.
Ketiga sopir itu bercerita, mereka banyak mengantar tamu blusukan. Ada peneliti, ada wisatawan, ada investor. Saya menangkap, salah satu daya tarik tamu-tamu itu datang ke Sumba adalah karena ada semangat berubah dari warganya yang luar biasa. Mereka sedang beranjak untuk keluar dari daftar warga termiskin di Indonesia.
AA Kunto A
CoachWriter, Pengajar di STIEBBANK