“Kamu tidak perlu bersedih …. toh apapun kesulitanmu sekarang, anak istrimu masih bisa makan, keluargamu masih utuh…., bisnismu yang lain masih ada yang berjalan,” ujar ibu sembari mengusap-usap kepalaku.
“Mungkin Tuhan punya maksud lain, agar kamu lebih punya waktu untuk keluarga dan juga untuk kegiatan-kegiatan sosial keagamaan”, Sementara, airmataku bercucuran, melepaskan semua beban hidupku, dipangkuan mahkluk ciptaan Tuhan, Terkuat di dunia ini, Ibu…
Setelah cukup lama, kepalaku tak direbahkan di pangkuan ibu, yang melahirkan dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang, tiba-tiba seorang anak yang kuat, cerdas dan pintar, bahkan kadang merasa lebih pintar dari ibunya ini, harus meruntuhkan ego dan kembali… bermohon untuk Restu, doa dan kasih seorang ibu.
Kejadian ini, terjadi 14 tahun lalu, saat artikel ini ditulis, yaitu tahun 2003. Di usia belia, sebelum genap berusia 27 Tahun, Perguruan tinggi pertamaku, berhasil aku dirikan bersama tim ku, yang semua masih di usia belia. Rupanya kesuksesan di usia belia ini, membuatku tinggi hati. Aku mengabaikan Peringatan ibuku, agar tidak memulai bisnis Kayu Jati. Dan Benar saja, tidak usah menunggu setengah tahun, bisnisku pun bangkrut dengan kerugian ratusan juta.
Itulah yang membuat aku, berpasrah di pangkuan ibuku, menyadari intuisi seorang ibu, darah daging yang telah berada dalam rahim beliau selama sembilan bulan, serta meneguk ASI selama beberapa tahun di awal kehidupanku ini.
Hubungan Masa laluku memang tidak terlalu mesra dengan ibuku, Ayah adalah panutan utamaku. Setidaknya ini sampai aku kelas 3 SMP. Pikiranku memberontak ketika dinasehati, jauh dari kata menurut. Apalagi ibuku bukan orang sekolahan, bahkan membacapun ibu tidak bisa, kecuali angka-angka, karena ibu memang perlu untuk membedakan uang Rp. 500, Rp. 5000 dengan Rp. 50.000.
Kegagalan yang mengubah Paradigma
Suatu hari..
Aku harus berpikir ulang tentang makna restu ibu dalam hidup. kelas 3 SMP, aku mengikuti tes, untuk sekolah di SMP Taruna Nusantara.
Zaman dulu sekolah itu adalah sekolah paling bergengsi di Negeri ini, konon, lulusannya hampir pasti, kuliahnya di AKABRI, karena didikan di SMA TARUNA NUSANTARA adalah semi militer dan diselenggarakan oleh TNI.
Hampir setiap anak SMP yang berprestasi, mengidamkan untuk belajar di sekolah idaman ini, tak terkecuali, anak desa bernama Putu Putrayasa, yang tinggal nun jauh di Sumatera Sana.
Tanpa restu ibuku, aku berangkat ke mengikuti berbagai test hingga akhirnya lolos sampai mengikuti test di Palembang, ayahku mendukungku seratus persen, sementara ibuku tak mendukung, karena rasa takut jauh dengan anaknya yang masih kecil, SMP.
Hasilnya aku mendapat pengalaman, namun hasil test nya, aku tidak berhasil dalam test tersebut. Saat itu, untuk pertama kalinya, aku menyadari, restu ibuku.. penting sekali dalam hidupku.
Sejak saat itu, pikiranku mulai menerawang kepada berbagai pertengkaran kecil maupun persetujuan yang diberikan oleh ibuku, selalu menghasilkan perbedaan. Hal-hal yang aku kerjakan, jika direstui ibuku, cenderung lebih berhasil. Setidaknya ketenangan Batin. Hasil perjuangan pun berbeda, Meskipun menghadapi kesulitan, selalu hasilnya lebih baik dan tentu lebih membahagiakan.
Suatu hari, aku membaca di sebuah koran yang aku lupa namanya, kisah kehidupan Menteri Kebudayaan kala itu, Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, bahwa kesuksesan beliau bisa tercapai karena doa dan restu Ibunda beliau. Dari artikel di koran itu, aku memutuskan, akan menuruti nasehat ibuku tanpa membantah lagi dan akan selalu mohon doa restu dalam berbagai hal penting dalam hidupku.
Salaman dengan Menteri: Mukjizat anak penurut
Sejak saat itu, aku merasa kehidupanku lebih ringan dan jauh lebih mudah. Kejadian ini, aku alami ketika sudah mulai sekolah di SMA.
Berbagai beasiswa aku raih, berbagai penghargaan dan kemenangan dalam lomba aku peroleh, hingga aku dikirim beberapa kali mengikuti lomba cepat tepat di TVRI bahkan hingga memenangkan lomba Siswa Teladan Nasional dan satu-satunya Anak SMA Putra yang dikirim mewakili propinsi Sumatera Selatan.
Momentum ini sangat penting dalam Hidupku, karena dari prestasi ini, kepercayaan diriku tumbuh berlipat-lipat. Salaman dengan Gubernur DKI Jakarta, Menteri dalam negeri, Menteri Agama, Menteri Pendidikan, Upacara Bendera langsung dipimpin oleh Presiden di Usia Sangat Belia, adalah sebuah kebanggan dan sekaligus melipatgandakan kepercayaan diriku.
Ibuku sungguh berbahagia sekali…
Aku mendengarkan bagaimana kebanggaan beliau bercerita tentang keberhasilan anaknya. tentu ayahku juga tak kalah bahagia… aku sungguh berbahagia bisa menjadi kebanggaan orang tuaku. Sering aku meneteskan air mata, membayangkan kebahagiaan mereka, ketika anaknya berhasil.
Aku semakin yakin, apapun yang diucapkan oleh ibu dan ayahku, adalah untuk kebaikan anaknya.
Hadiah 7 buah Baju untuk UGM
“Sekarang apa cita-citamu Tu?”
Tanya ibuku suatu senja, di kos-kosan ku di Baturaja, 50km dari rumah kami. kadang-kadang ibu memang menginap di kos-kosan, jika sudah terlalu malam untuk pulang ke kampung.
“Bu, doakan ya, biar bisa masuk UGM”
“Kenapa kamu pilih UGM?” Sekali lagi, ibuku bertanya menyelidik. Meskipun ibuku buta huruf, tapi beliau sudah lama mendengarkan cerita tentang kampus tertua di negeri ini tersebut.
“Karena SPP nya murah bu… agar ibu sama ayah tidak terlalu berat memikirkan biaya kuliahku,” aku menyeka air mataku. Terbayang perjuanganku, dari SD hampir tidak sekolah SMP, karena permasalahan biaya. Tamat SMP pun, aku akhirnya tidak sekolah, meski telah melalui perjuangan yang ngotot dan puluhan kali perdebatan yang mengurai air mata. Sehingga, kalau sudah membicarakan tentang sekolah, aku jadi sentimentil, sudah menangis sebelum terjadi apa-apa.
“Iya.. Ibu doakan ya Nak…, kalo kamu berhasil masuk UGM, nanti ibu belikan baju 7 setel”, dadaku tiba-tiba sesak serasa hendak pecah, terharu bercampur gembira. Restu Ibuku telah aku dapat, tidak ada yang perlu aku khawatirkan.
Dan aku tidak menyangka, ibu akan begitu mendukung. jangankan 7 Setel, 3 setel pun, kami 3 anaknya, tidak pernah dibelikan sekaligus. Kami dibelikan baju 1 setel, saat hendak Hari Raya Galungan.
Hari itu pun tiba, puluhan tetangga desa diundang, pesta kecil, atas kesuksesan anaknya, ibuku rupanya bikin nazar, aku membuat pesta kecil-kecilan jika anaknya diterima kuliah di UGM, Kampus Idaman jutaan anak SMA di negeri ini.
Begitu bahagianya ibu, karena anaknya masuk di UGM. Namun ketika aku hendak pergi ke Jogja untuk pertama kalinya, ibuku menjerit-jerit menangisi anaknya seperti di depan peti mati.
Aku tak kuasa menahan tangisku, hingga melewati beberapa desa, ibu yang pernah aku kira pemarah dan membenciku, ternyata begitu menyayangiku.
Sungguh aku merasa berdosa…
Pernah memiliki prasangka buruk, karena kerasnya kata-kata ibuku dalam menasehatiku.
Sampai hari ini, ketika aku memimpin belasan perusahaan dan puluhan ribu orang mendengarkan kata-kataku, bahkan ratusan ribu orang menjadi followerku di sosial media, kata-kata ibuku jauh lebih sakti daripada kata-kataku.
Aku selalu mengenang…
Betapa kasih sayang ibuku, ketika menjerit histeris menangisi kepergianku ke Jogja, seakan hendak pergi selamanya menemui sang pencipta. Kenangan itu, bukti cinta dan kasih sayang seorang ibu kepadaku, yang memotivasiku setiap saat, untuk menjadi anak yang sukses dan membahagiakan keluarga terutama orang Tuaku.
Semoga dengan membaca tulisanku ini..
Banyak Anak negeri ini, yang Sukses dan Berprestasi karena mendapatkan Mukjizat Restu ibundanya, Sebetapapun bodoh dan buruk ibundanya di Hatinya hari ini, namun ibulah perwakilan Tuhan di dunia sejak kita dalam Kandungan hingga akhirnya kita kembali pada sang pencipta.
Salam Sayang dan Hormat
Untuk Semua Ibunda di planet ini….
Salam Hebat
Putu Putrayasa
CEO BERNAS MEDIA GROUP