Siapa sanggup membendung arus mudik? Dari tahun ke tahun, arus ini makin kuat. Jumlah pemudik selalu meningkat. Hiruk-pikuk pemberitaan seputar arus mudik pun nyaris tidak pernah ada jeda. Perhatian hampir semua orang di Indonesia mengerucut pada perjalanan menuju kampung halaman ini.
Dari kacamata bisnis, kita bisa membaca, magnet bernama “kampung halaman” begitu memikat. Sebagai merek, ekuitasnya sangat kuat. Sebegitu kuatnya, seolah tiada kekuatan apa pun yang mampu membelokkan, alih-alih mementalkan. Macet, berdesak-desakan, tiket mahal, dan capek tidak menghalangi perjalanan menuju kampung halaman.
Saya pernah larut dalam barisan pemudik. Dua kali saya tempuh perjalanan darat, menaiki sepeda motor, dari ibu kota, pulang ke kampung halaman. Belasan jam di atas sadel tidak terasa. Hanya rindu yang membasuh dahaga.
Pesona kampung halaman jauh lebih membuai daripada ancaman akan “jalur tengkorak”, lengkap dengan data-data tentang kematian di jalan raya. Hanya doa yang sanggup menyibaknya, melulu berharap keselamatan.
Daya tarik kampung halaman justru terletak pada kesederhanaan, keapaadaan, dan keudikannya. Dan itu yang dirindukan pada pemudik. Pemudik sudah kenyang dengan kemewahan, keriuhan, dan kekompletan kota perantauan. Keserbaadaan itu rupanya menyisakan ruang kosong yang hanya ada di kampung halaman: keindahan masa kecil dan kehangatan keluarga. Alami, otentik.
Inilah pelajaran yang bisa kita petik untuk mencermati bisnis kita. Sudahkah merek kita sanggup memboyong pelanggan untuk kembali? Sudahkah pelanggan kita mau mengupayakan sedemikian rupa supaya hanya berbisnis dengan kita? Sudahkah pelanggan kita “bela-belain” demi sesuatu yang rasanya tidak masuk akal?
Rupanya, kerinduan pelanggan pada bisnis yang alami dan otentik sedemikian besar. Pelanggan kangen pada suasana natural yang tidak dibuat-buat. Pencitraan bisnis yang sedemikian massif, pada satu titik, menyingkirkan pelanggan pada titik kritis kejenuhan. Walaupun mudik telah terkomodifikasi sedemikian rupa, namun di benak pelanggan, ekspektasi merek “kampung halaman” masih serupa dengan imajinasi empirik mereka akan kampung halaman mereka di waktu lampau.
Jogja, kota dengan selusin predikat, kota yang jadi tujuan mudik sebagian perantau, dihadapkan pada tantangan ini. Sudahkah pendidikan di kota ini masih bisa diharapkan melahirkan alumni dengan karakter keunggulan yang kuat? Masihkah kebudayaan kota ini hadir sebagai oasis yang luhur? Masihkah kesantunan warga kota ini patut sebagai teladan bangsa? Jogja yang alami dan otentiklah yang dirindukan para perantau.
AA Kunto A
Dosen @STIEBBANK