Seorang wanita, berpendidikan tinggi di bidang yang sangat dibutuhkan perusahaan, mengeluh mengapa bukan dia yang mendapatkan promosi sebuah jabatan yang telah lama diinginkannya. Ia telah berusaha melakukan sesuatu yang terbaik menurutnya, pendidikan juga tinggi. Namun aneh, mengapa sang pimpinan tidak memilihnya untuk naik ke jabatan di atasnya ketika pimpinan di atasnya ini dipromosikan?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tentu banyak dimiliki oleh sebagian besar orang. Ada yang berpikir positif, berarti memang orang lain yang lebih layak, lalu termotivasi untuk meningkatkan prestasi. Ada yang netral, tidak mengeluh, tidak komplain, juga tidak tertarik untuk meningkatkan diri.
Nah yang menarik adalah yang berpikir negatif, berpikir bahwa di kantor ada konspirasi, hanya yang pandai cari muka yang dipromosikan, pimpinan tidak adil dan tidak bijaksana, bahkan memilih untuk mengundurkan diri, disertai protes dan provokasi ke teman-teman kerja yang lain.
Ketiga respon di atas adalah respon normal namun menarik untuk anda pelajari, bagi anda yang ingin mendapatkan promosi jabatan di kantor anda.
Banyak orang perpendidikan tinggi dan memiliki skill yang baik merasa berhak atas jabatan yang tinggi dan akhirnya frustrasi karena mereka tidak benar-benar mendapatkannya. Apa sebab? Technical skill atau hardskill hanya memegang peranan sekitar 20% dari pengambilan keputusan ketika ada beberapa pilihan orang yang memiliki keahlian yang sama.
Berikutnya adalah apakah orang ini menyenangkan? Apakah seseorang bisa menjadi seorang problem solver? Bagaimana loyalitasnya? Bagaimana ketika ia dalam tekanan dan harus bekerja overtime untuk menyelesaikan permasalahan? Terakhir tentunya, apakah ia cukup membantu bagi pimpinan atau bosnya jika ia ditempatkan dalam jabatan tersebut?
Sebagai pemimpin di @STIEBBANK Hebat Business School, saya gemar mencari referensi yang relevan untuk itu. Salah satunya ada dalam buku “What they don’t teach you at Harvard Business School” karya Mark H. McCormack. Ia pertama kali menekankan apa yang tidak diajarkan di Harvard dan sekolah bisnis lainnya adalah ilmu tentang manusia. Ya, inilah kelemahan pendidikan formal kita, seakan-akan belajar ilmu manusia hanya monopoli jurusan psikologi semata. Inilah yang seharusnya kita pelajari: ilmu kepemimpinan, negosiasi, menjual, coaching, mentoring.
Ya…, karena semua hardskill seperti akuntansi, teknik mesin, teknik sipil, dll hanya akan mengantarkan kita menjadi bengkel insinyur, seorang staf yang tidak akan bergerak naik ke panggung promosi.
Tentu saja, saya tidak hendak mengecilkan ilmu-ilmu hardskill seperti saya sebutkan di atas, Tetapi ilmu manusia yang lebih cenderung soft skill, justru sangat mendukung karir anda, jarang dipelajari secara serius, di hampir semua kampus di negeri ini.
Nah bagaimana dengan anda? Sudahkah anda memiliki perhatian terhadap ilmu-ilmu manusia, yang seharusnya dan biasanya dimiliki oleh seorang pemimpin?
Jika belum, selamat memulai…