Bersama Komunitas Memberi (@memberiID), Sabtu-Minggu, 24-25/5) kemarin saya ikut kelas “Branding for UKM”. Ini kelas pembelajaran. Gratis. Baik pembicara maupun penyelenggara tidak berbayar. Sifatnya voluntary.
Dalam kelas pembelajaran tersebut, kami memungkasi dengan melangsungkan kunjungan ke salah satu brand lokal bernama @SidjiBatik di Pandak, Bantul. Sesuai misi, kami hendak belajar membangun brand. Sidji Batik layak dirujuk mengingat kiprahnya mendongkrak prestise batik, satu kekayaan bangsa Indonesia yang sudah diakui dunia.
Di antara sekian banyak strategi bisnis yang dijalankan, saya tertarik pada cara Mas Karman (@KarmanMove), pemilik Sidji Batik, mengembalikan manusia sebagai subyek bisnis. Batik sejati mengandalkan manusia dalam setiap prosesnya.
Secara harga, batik mereka mahal. Memang semestinya begitu supaya para pembatik bisa hidup lebih dari layak. Sebab, faktanya, selama ini banyak pembatik yang tiarap, dan beralih pekerjaan, karena bayaran mereka tak sebanding dengan kerja tekun, telaten, dan panjang yang sudah mereka tempuh. Jadi, batik mahal berkontribusi menghidupi rantai bisnis yang kesemuanya melibatkan subyek manusia. Dengan demikian, batik yang secara nasional menyumbangkan devisa lebih dari Rp 400 miliar tak semata menguntungkan pengusaha namun merata ke semua pelaku usaha.
Aspek lain yang menarik perhatian saya, dan saya kira juga menarik perhatian anda, adalah cara mereka berkomunikasi. Bahwa mereka tidak hanya menjual batik sebagai produk (content), melainkan menawarkan cerita (context). “Gunakan story telling,” ujar Mas Karman.
Sebagai CoachWriter, saya sepakat betapa cerita sungguh ampuh dalam mengemas bisnis kepada publik. Cerita adalah metode komunikasi yang efektif karena memasukkan pesan di benak publik secara halus. Beda dengan batik lain, Sidji batik dibangun dengan cerita tentang seni adiluhung yang diciptakan dengan tangan (handmade) dan terbatas (limited). Unik dan terbatas, demikian cerita yang dibangun.
Menurut pakar pemasaran @Yuswohady yang turut hadir dalam kunjungan, kekuatan Sidji Batik dalam berkomunikasi terletak pada otentisitas dan kreativitas. Tidak mengada-ada. Dengan begitu, wajar ketika banyak tokoh, termasuk wakil menteri, yang dengan sukarela menjadi “duta merek”. Selain membeli dan mengenakan, tokoh-tokoh ini senang meneruskan cerita kepada publik luas.
Mas Mas @Yuswohady memaparkan materi tentang bagaimana membangun brand lokal menjadi brand global di hadapan 50-an peserta yang duduk lesehan di pendopo baru Sidji Batik, saya berbincang dengan Mas Karman di deret belakang di luar pendopo. Berdiri, sembari menikmati suguhan teh panas, kacang rebus, dan pisang mas, saya mendengarkan cerita Mas Karman tentang perjalanannya membangun bisnis ini.
Sebagian besar cerita sudah dituangkan di majalah Pawartos Sidji Batik. Sebagian ada di website www.sidjibatik.com. Sebagian sudah dikicaukan di @SidjiBatik. Sebagian ada di www.yuswohady.com. Tentang tulisan-tulisan yang sudah terbit tersebut saya mengagumi pilihan Sidji Batik berkomunikasi secara tertulis. Dan ketika sesampai di rumah saya baca kembali tulisan-tulisan itu, saya terbersit untuk menuliskan catatan ini.
Selaras. Mas Karman berbisnis batik. Dalam pengertian asali, batik itu “menulis”. Bukan motifnya melainkan proses membuatnya. Satu per satu kain “diciptakan” dengan tangan. Satu kain satu desain. Bila pun kain lain berdesain sama, warna dibuat berbeda. Pada ujungnya, tak ada batik yang sama persis. Pasti masing-masing unik.
Tak ada batik salah. Kata Mas Karman, “Semakin salah semakin benar.” Tak ada batik terbuang karena pembatik berbuat salah, baik salah dalam melukis, salah dalam mewarnai, atau salah dalam hal lain. Batik itu manusiawi. Manusiawi dalam toleransi kesalahannya juga. Jika ada batik yang salah menurut perencanaan awal, teruskan saja sehingga akan muncul motif baru. Oh ini praksis di balik posisi Sidji Batik sebagai batik kontemporer. Sampai-sampai cara bekerja pun post-modernistis. Semakin salah semakin benar. Dalam batik tidak ada salah benar. Jadi, salah benar tak perlu dipersoalkan.
Bukankah dalam menulis juga begitu? Untuk apa menggunjingkan benar-salah sebuah proses menulis. Alih-alih, lanjutkan menulis dan capai tulisan yang khas. Belajar dari batik, menulis pun sebuah proses yang sangat personal.
Dan lewat tulisan-tulisan di berbagai media yang saya sebutkan di depan, Mas Karman menyapa publik pelanggan secara personal. Mbah Padma, contohnya, ditulis sebagai tokoh sentral dalam industri batiknya. Peraih Sidji Batik 2013 itu ditempatkannya sebagai pelestari budaya. Membaca Mbah Padma membaca samudera ketekunan.
Dengan begitu, tulisan-tulisan yang diciptakan tak sekadar informasi. Ada edukasi. Ada refleksi. Ada proyeksi. Sebagaimana motif batik-batik yang diproduksi Sidji Batik, batik bukan sekadar cermin untuk menoleh ke masa lalu semata, melainkan untuk menegaskan di mana kita berpijak sekarang, dan membimbing kita untuk menatap ke mana kita akan melangkah. Masa lalu, sekarang, dan masa depan terangkum dalam batik. Dan rangkuman ini saya petik dari tulisan-tulisan di berbagai media Sidji Batik.
Oleh AA Kunto A
Pengajar Menulis Bisnis Kreatif di STIEBBANK