Saat melintas di sebuah jalan, daerah Solo Baru, Jawa Tengah, menjelang berbuka puasa, saya menghentikan mobil di sebuah warung lesehan nasi liwet khas kota Solo. Agar pas disantap saat buka puasa tiba, saya memesan satu pincuk nasi liwet. Satu porsi nasi liwet disajikan di atas selembar daun pisang yang di ujungnya disematkan lidi kecil dan ditaruh di atas piring dari anyaman bambu. Nasi gurih hangat, sayur sambal goreng labu, ayam suwir gurih, dan telur rebus menggugah selera untuk berbuka puasa, disajikan di atas pincuk.
Sambil menunggu giliran, saya tertarik dengan sebuah gerobak besar bertuliskan “yang penting halal”, “tidak ada rotan rosok pun jadi,” terparkir di depan warung. Di dalam gerobak berisi tumpukan kertas dan besi-besi bekas. Saya menghampiri seorang pria yang sedang duduk di dekat gerobak, “Lagi menunggu buka puasa, Pak?” “Iya, kok tahu, Mas?” pria separuh baya tersebut menjawab sambil tertawa kecil.
“Bawa apa ini, Pak?” saya bertanya sambil melihat ke dalam gerobak yang berisi tumpukan kertas dan besi-besi tersebut. “Ini rosok, kertas bekas dan besi-besi, dikumpulkan untuk didaur ulang, Mas,” pria tersebut menjelaskan. “Disetornya ke mana, Pak?” saya bertanya semakin penasaran. “Di tempat pengumpulnya di daerah Grogol,” jawabnya. “Berapa harga setornya, Pak, kalau kertas?” saya bertanya sambil memegang setumpuk kertas HVS bekas skripsi yang gagal cetak sepertinya. “HVS perkilogram Rp 2.000, kertas koran perkilogram Rp 1.000, kertas majalah perkilogram Rp 750, kardus perkilogram Rp 2.000,” pria tersebut menjelaskan dengan semangat.
“Untuk harga beli dari pemilik kertas bekas berapa, Pak?” saya bertanya dan berusaha menghitung keuntungan. “HVS perkilogram saya biasa beli Rp 1.000, kertas koran perkilogram Rp 500, kertas majalah per kilogram Rp 300, kardus perkilogram Rp 1.000,” pria tersebut menjelaskan secara detail. “Nanti dari pengumpul juga akan disetor lagi ke pabrik pengolahan kertas,” pria tersebut menambahkan. “Ada berapa orang teman Pak yang berprofesi sama seperti bapak?” saya bertanya sambil penasaran dengan semangat pria tersebut menjelaskan profesinya. “Ada delapan puluh orang, mungkin lebih, Mas,” pria tersebut menjelaskan.
Berapa kilogram rata-rata perhari bisa dapat untuk kertas HVS saja, Pak?” saya bertanya sambil sesekali melihat tumpukan kertas di dalam gerobak. “Kalau 100 kilogram total biasanya ya dapat, Mas,” pria tersebut menjelaskan dengan optimistis.
Bisa Anda bayangkan dan hitung berapa penghasilan rata-rata perbulan dari pria tersebut, dan berapa penghasilan dari perusahaan pengumpul kertas-kertas bekas tersebut perhari dan perbulannya. Luar biasa ide bisnis sederhana tetapi hasilnya luar biasa. Tentu saja “yang penting halal.”