Sebagai CoachWriter, saya baru saja selesai mendampingi seorang klien menulis buku. Sudah terbit. Ditulis hanya dalam waktu 15 hari saja. Padahal klien saya belum pernah menulis.
Tampak mustahil memang. Sebelum sampai pada angka itu memang sempat ada keraguan. Namun, karena agenda seminar di berbagai kota yang sudah ia jadwalkan, maka keraguan itu ia tepis. Ia ingin, saat seminar-seminar itu, buku yang ditulisnya sudah jadi sehingga bisa diberikan kepada audiens.
Dalam NLP (Neuro-Linguistic Programming) yang saya pelajari dan kuasai praksisnya, apa yang ditempuh klien ini disebut outcome. Di kalangan pembelajar motivasi disebut sebagai afirmasi. Penjelasannya sederhana. Outcome adalah menghadirkan sesuatu-peristiwa di masa yang akan datang sekarang. Bukunya belum jadi, bahkan belum dimulai penulisannya, namun Aji sudah menghadirkan event seminar seolah-olah berlangsung sekarang.
Jadwal yang kami sepakati berangkat dari “visual akhir” ini. Ia mulai merasa bangga membayangkan rencana itu terwujud. Ia mulai merasa hidupnya makin berarti ketika buku yang akan diselesaikannya menginspirasi pembaca. Ia mulai merasakan bagaimana menenteng buku karyanya ke mana ia pergi.
Malam-malam, selama 15 hari, ia duduk tepekur di rumah. Saat keluarga sudah tidur, ia mengunci diri menuangkan seluruh isi pikiran dan referensi. Sungguh, ia mengunci diri dari aktivitas lain selain menulis. Hebatnya, demi buku ini, selama 15 hari ia putuskan cuti dari semua pekerjaan rutinnya sebagai pengusaha dan konsultan.
Pada beberapa malam, kami sempat bersahut kata lewat pesan di perangkat telpon pintar. Ada energi berlimpah di malam-malam itu. Sesekali Aji bertanya, saya menjawab. Itu pun tentang tanya-jawab yang sederhana, hal teknis seputar teknis menulis. Saat Aji meminta saya untuk mengomentari isi tulisan, saya katakan, “Teruskan sampai selesai, Mas.”
Di tahap ini, saya menerapkan “cara Walt Disney” yang pertama: kreatif. Pada fase ini, penulis membayangkan apa pun yang ada dalam benaknya seliar mungkin. Bebaskan pikiran. Umbar ide. Pakai otak kanan, cetus para motivator. Nanti, fase ketiga baru dihadirkan setelah fase pertama berlanjut ke fase kedua. Fase kedua adalah eksekusi saja apa yang melintas di fase pertama. Ini fase kepatuhan. Fase ketiga adalah kritis, mengambil jarak untuk mengoreksi kekurangan atau kesalahan.
Benar saja. Di hari ke-15, target tercapai. Rehat sebentar baru kami berkomunikasi untuk memeriksa ulang apakah hasil tulisan sesuai dengan perencanaan awal (TOR) yang sudah disusun rapi. Ini fase kritis. Saya masuk dengan pertanyaan, “Apakah menurut anda tulisan ini sudah mencakup seluruh gagasan?” Dalam hening, Aji kemudian memoles kembali tulisan dengan contoh kasus, ilustrasi cerita, dan data.
Sudahkah anda menentukan outcome dan cara mencapai yang kreatif?
AA Kunto A
Praktisi Komunikasi NLP, Coach Writer STIEBBANK